Di kamar sempit ini, aku tenggelam dalam tumpahan buku-buku lamaku. Bukannya aku sedang asyik membaca, dari kemarin mama merepetiku supaya membenahi rak buku di kamarku. Jangan karena kamu udah kos, Nun, trus kamarmu dibiarin tak terurus, begitu omelannya. Usang, bau apek, berdebu, kertas yang berwarna kuning, khas buku jadul. Semua buku itu adalah buku-buku pelajaran dan catatan saat aku masih SMA.
Bruukk! Sebuah buku tebal jatuh dari rak atas dan menghantam pas di ubun-ubun. Keliyengan, aku meratap kesakitan. Buku sial apa yang menimpaku barusan?
Buku bersampul keras dengan desain yang glamor, bertuliskan huruf timbul emas “In Memory”. Buku tahunanku, aku membukanya kembali setelah dua tahun tertutup dan terbalut waktu. Aku seperti mendengar tawa riang dan renyah di tiap lembarnya. Di lembar berikutnya, tulisan besar membuka kembali kotak memoriku akan ketenaran enam gadis di sekolahku. Golden Girls: Tia, Nuri, Anun, Sita, Rara, dan Mina, membentuk satu deret posisi anggun. Tak ada yang lebih anggun dan emas seperti Mina, tubuh tinggi dengan rambut panjang melambai seperti daun nyiur.
Mom, begitulah kami selalu memanggilnya, hingga kami hampir lupa bahwa namanya adalah Mina. Minalah yang menciptakan Golden Girls. Sebelumnya kami adalah sekumpulan geek yang terasingkan. Semuanya berubah setelah kami memenangkan lima piala dan hadiah jutaan rupiah di sebuah perlombaan seni bergengsi antar SMA di kota kami. Famous menjadi label kami setelahnya. Ah, segalanya berkat Mom.
Mom amat baik dan berhati selayaknya seorang ibu, walau usianya masih belia. Jika ada problem hidup, kami lebih mempercayai Mom untuk membantu kami. Dengan sukarela badan Mom selalu menjadi peneduh panas jika kami sedang upacara atau berjalan-jalan di hari yang terik. Mom tak pernah mengakhiri seharipun tanpa membuat kami senang. Kami berlima menjulukinya Zephyrus, angin semilir menyejukkan.
Tak ada yang abadi, kejayaan Golden Girls pupus setelah kami lulus SMA. Kami terserak, bagai bebatuan meruntuh. Kejatuhan ini sebenarnya telah tampak saat meninggalnya Tia, setahun sebelum kelulusan. Ketenaran membuatnya angkuh. Berpacaran dengan anak walikota membuatnya jauh dari kami. Mom tak tinggal diam. Ia tahu bahwa Bram terlibat narkoba, dan ia tak mau Tia jatuh ke dalam lubang hitam Bram.
Angin semilir itu berubah menjadi angin badai. Kematian Tia menggalaukan hati Mom. Tia dikabarkan meninggal karena OD. Sidang dibuka untuk mengadili Bram yang diduga telah menyuntikkan heroin pada Tia. Tak ada vonis yang dijatuhkan, karena tak ada bukti yang memberatkannya.
Aku ingat tengah berjalan pulang dari sekolah bersama Mom melewati lapangan gersang dan sepi. Sepanjang jalan muka Mom terus murung. Ia tak bisa menerima kepergian Tia tanpa ada keadilan untuknya. “Anun, suatu hari Bram akan kuadili saat hidup. Biar Tuhan yang mengurusnya di neraka.” katanya sambil mendesah sedih.
Seorang lelaki melintas di lapangan itu. Tak terlihat jelas rupanya. Mom memicingkan mata lalu berdesis geram. “Bram…”
Hampir saja aku bisa meraih tasnya dan mencegah Mom berlari ke arah Bram. Terlambat, Mom melepas tasnya lalu berlari, memberangus Bram dari belakang layaknya singa hendak menerkam.
Dari kejauhan aku bisa melihat Mom sedang sibuk mengerjai ‘mangsanya’. Rambut kucirnya mengayun-ayun. Mom tak peduli saat itu ia masih mengenakan baju sekolah. Dengan cepat Mom menumbangkan Bram dengan jurus tinju standar dan menjepit tubuhnya. Bram tak dapat menandingi tubuh tinggi Mom.
“Heh, panjang umur ya! Bisa ongkang-ongkang kaki lo sekarang ya! Padahal seneng banget gua kalo lo bisa masuk bui. Sekalian mampus sama bokap lo yang korup!”
Semilir itu pun mengganas menjadi topan. Tak dikira Mom sedang menjambak Bram dan menampar pipinya hingga merah kebiruan. Itu bukan Mom, tapi setan yang merasuki tubuhnya. Aku berlari dan berusaha melerai. Mom makin beringas. Bram terpuruk dibawah jepitan lutut Mom. Perkelahian satu arah itu seperti tak berujung.
“Tuntut gua! Rahasia lo dan bapak lo bakal gua bongkar!” berangnya sambil meremas krah baju Bram. Akhirnya Mom berhenti juga. Suatu penutup yang tak terduga. Setelah berkelahi Mom membersihkan luka Bram dengan air minumnya. Tak ada luka serius, hanya pendarahan ringan pada bibir Bram.
*
“Maaf ya, kalau akhirnya kita harus bubar. Aku akan pergi ke Jakarta untuk kuliah. Tapi jangan sampai putus hubungan. Jangan lupa fesbukan bareng. Kapan-kapan main ke Jakarta.” Begitulah ucapan terakhir Mom kepada kami saat pesta perpisahan. Tak ada air mata yang menggantung di ujung bulu lentik matanya. Namun mataku, Nuri, Sita, dan Rara basah berbanjir air mata saat Mom memeluk kami berempat dengan lengan yang terbentang lebar.
Kami berempat mengantarnya ke bandara. Tak ada sanak keluarga yang mengantarnya, bahkan orang tuanya. Aku bingung, kemana mereka? Masalah hidupnya dan keluarganya, dua hal yang masih menyisakan misteri di benakku dan kawan-kawan. Kami tak pernah bertanya pada Mom perihal itu.
Kaki Mom mengantung dan terhenti sebelum masuk ke ruang tunggu keberangkatan. Lalu ia berbalik. Suaranya yang dalam memanggil aku, Sita, Nuri, dan Rara. “Baru inget aku kalo pesawatnya delay, haha!” Mom memasang wajah bodoh. Aneh, dadaku berasa plong mengetahui keberangkatannya ditunda. Makasih Tuhan, masih mau memberikan waktu untuk kami.
Mom menghapus kebosanan kami dengan bernyanyi. Mom jago nyanyi, tapi paling ogah kalau diajak karoke. Ia lebih suka menyanyi lepas begitu saja. Kali itu Mom bersenandung lagu Thousand Times-nya Sami Yusuf. Liriknya amat mengena di hati. A thousand miles I’d run and walk, a thousand times I’d slip and fall, but for you I’d do it again a thousand times.
Tak ada lagi kawan sebaik dan sesahaja Mom. Mom baik, terlalu baik hingga kami tak mau melepasnya. Terlebih lagi diriku. Mom rela jika harus sakit untuk kami. Mom punya banyak energi cinta. Pada kamilah ia menumpahkan cawan hatinya yang penuh meluap.
Pesawat Mom tiba. Mom memberikan pelukan lebar pada kami untuk yang terakhir kalinya. Tak ada kabut sedih di matanya. Mom hanya berujar lirih.
“How time made us meet each other. Warm smile from afar, told me to approach you. From stranger then we befriended. It was only you and me, then the friendship grew in number. Each moment we cherish together, is a priceless gift. Peace be with you my dearest friends, in my heart you’ll remain.”
Sita tampak meringis kocak di sela mukanya yang sembap. Sita tak pandai berbahasa Inggris. Kami tertawa saat ia dengan polosnya bertanya pada Mom arti dari ujarannya.
Ya, sampai disitulah, dan kaki Mom melayang terbang meninggalkan tanah Surabaya. Awan membawanya jauh. Kami tak bisa merasakan Zephyrus lagi. Serasa hampa, tak berangin, kering, tanpa Mom.
*
Ampun, aku merusak buku tahunanku! Bercak air mata dimana-mana. Aku terhanyut dalam melodi masa yang memudar, melodi Zephyrus yang bertiup sendu. Mom, Anun kangen. Jika saja ada Mom, kami semua bisa bertemu. Tapi kami terberai waktu. Tak ada kabar darimu, begitu juga kawan yang lain. terakhir kali kutahu Rara melamar di sekolah modeling, Sita dan Nuri tak jelas kabarnya. Merekapun jarang aktif di facebook. Kukirim wall namun tak berbalas.
Hingga sekarang aku tak mendengar kabar dari Mom. Dulu terkadang Mom suka mengirim wall, katanya kuliahnya sibuk sekali. Mom menjadi ketua edukasi untuk anak yatim. Ah, Mom, kau selalu berputar dan menyebarkan kesejukan. Kau tumpahkan seluruh cinta dalam cawan hatimu untuk orang yang kau kasihi. Aku jadi berandai, adakah seorang lelaki yang ketumpahan cawannya? Aku tak pernah mendengar Mom jatuh cinta, apalagi punya pacar.
“Nun,” Mama membuyarkan lamunanku. “Jangan lupa, nanti siang kita mau pergi. Kakakmu kan wisuda hari ini? Cepet rapi-rapi ya.”
Gubrak! Aku benar-benar lupa kalau Mbak Asih mau diwisuda hari ini! Mana buku-buku belum beres? Ya sudah, kulemparkan saja selimutku ke atas tumpukan buku-buku itu. Tinggal sejam lagi, buru-buru kusambar handuk dari jemuran belakang. Hahaha! Kuselak Bapak yang berjalan gontai menuju kamar mandi. Maaf ya pak, Anun mandinya agak lama.
Pelataran parkir kampus Airlangga penuh sesak oleh mobil yang mengantar para wisudawan. Aku membantu Mbak Asih turun dari mobil. Ia tampak repot dengan sarung batik yang melilit ketat. Jalannya seperti penguin, aku terkikik melihat caranya berjalan. Belum lagi dengan sanggul yang membuat kepalanya seperti mengidap tumor. Ah, jahatnya aku.
Mbak Asih sudah masuk ke dalam gedung. Aku memilih di luar karena kutahu di dalam pasti panas. Mataku tertuju pada satu pohon berbatang besar dan berdahan rindang. “Hmm…bolehlah.” Dengan cuek aku selonjoran di bawahnya sembari meregangkan kaki. Angin semilir berputar rendah di depanku dan memainkan dedaunan kering. Dedaunan itu berputar dan merendah mendekati pusaran. Zephyrus, aku teringat Mom. Mom seperti semilir dan aku beserta kawan-kawan adalah dedaunannya.
Angin semilir itu terus berputar namun menjauh dariku. Mataku mengejarnya,. Jangan pergi, Zephyrus! Jangan pergi seperti Mom!
Angin itu pun menghilang. Namun kurasa angin itu muncul kembali dan berputar di sekitarku. Seorang wanita tengah berbincang dengan gadis berbaju biru dengan rambut terurai. Wajahnya putih berpendar lembut oleh sinar mentari. Nafasku tercekat.
“Mina!” seruku, namun gadis itu tak menoleh. Ah, mungkin bukan Mina dan itu paling cuma mimpi. Tapi kuyakin bahwa aku tak sedang bermipi siang ini. Segenap nafas kukumpulkan lalu memekik.
“MOM!”
Itu Mom! Mom langsung berlari ke arahku dan tak butuh waktu lama untuk kaget dan mematung saat melihatku. Mom berubah, penampilannya jauh lebih mature dan tentu saja tambah anggun. Namun aku masih bisa merasakan pelukan lebar yang ia berikan dua tahun lalu, masih sama. Tubuhnya makin tinggi dan langsing saja.
“Mom! Ya ampun kemana aja dua tahun ini?” Suaraku memekik saking senangnya. Mom tersenyum lebar.
“Aku masih ada di bumi kok.” katanya dengan nada bercanda. “Maaf ya kalo aku jarang fesbukan. Aku sibuk banget. Ini aja aku balik ke Surabaya karena lagi libur semester.”
“Tau nggak sih? Nun kangen baget sama Mom.” kataku sambil berurai air mata.
“Masak sih? Tiap waktu Nun bisa ketemu Mom kok? Mom juga bisa liat Nun. Tuh…” Mom menunjuk ke bawah. Dedaunan menari di seputaran angin kecil. “Zephyrus.” kata Mom singkat. Lalu Mom tak berujar lagi. Ia membiarkanku diam dan mencerna perkataannya. Angin terdapat dimana-mana. Aku bisa merasakan kesejukannya kapanpun aku mau. Bila aku kangen Mom, angin selalu membisikkan kabar darinya untukku.
“Mom kan lagi libur? Mau nggak kita jalan-jalan?”
“Sama anak-anak?”
“Sayangnya engga. Nun nggak tau dimana mereka sekarang.”
“Oh…” Mom menunduk sedih.
“Jangan sedih Mom, Nun bakal ajak Mom ke Bromo. Ntar malem gimana? Biar nyampe puncaknya pas subuh.”
“OK! Tapi kamu nginep di rumahku ya.” kata Mom semangat.
*
“Gimana Nun? Cowok Airlangga ada yang oke nggak?” bisik Mom saat kami tengah mendaki di pekatnya malam. Aku kesusahan mencari pijakan yang benar. Kurasakan pupil mataku berkontraksi dan membesar mencari cahaya. Tapi Mom berjalan tenang dan membuat pendakian itu terasa effortless. Ia memegangi tanganku dan berusaha menyelaraskan langkah denganku.
“Ah, si Mom kayak nggak tau cowok Surabaya aja. Asem-asem sepet kayak brem batangan.”
Mom tertawa. Dua tahun di Jakarta membuatnya lupa seperti apa rupa bujangan Surabaya. Selama pendakian itu Mom bercerita bagaimana kuliahnya di Jakarta. “Jakarta itu sama aja kayak Surabaya, cuma lebih sumpek. Cowoknya juga dikit yang sopan.”
Semburat subuh terlukis di atas horizon dengan warna jingga yang mendominasi warna indigo. Udara dingin makin dalam menusuk saat aku dan Mom menapaki puncak. Ternyata banyak orang sudah menunggu matahari terbit. Mom menarik tanganku dan berjalan ke gundukan batu di atas. Tak ada orang, titik yang amat sempurna untuk menyaksikan keindahan ilahi.
“Dua hari lalu Mom ziarah ke makam Tia.” kata Mom.
“Uh, udah tiga bulan Nun belum ngunjungin makamnya.” Aku meringkuk kedinginan di dekat kaki Mom yang masih berdiri. Dingin sekali di puncak itu. Yang aku heran, tanpa topi atau penghangat apapun, dan hanya jaket tebal yang membungkusnya, bagaimana Mom bisa berdiri menantang angin begitu?
“Dingin, Mom.”
“Udara dingin ini lebih hangat dari masa laluku.”
Mom menyambutku di pintu masa lalunya. Belum pernah Mom berkata tentang masa itu. Mungkin baru dan hanya diriku yang mendengarnya.
“Kau tahu, Nun? Aku ini anak tertua dari bocah-bocah di panti asuhan kelurahan kita. Sejak aku mulai bisa mandiri di usia tujuh tahun, aku membantu membesarkan bayi-bayi yang terbuang itu. Rasanya getir, di umur semuda itu aku dibebani tanggung jawab mengurus manusia kecil. Kebijaksanaanku dituntut. Pada usia itu kudapat naluri keibuanku. Ah, lucu sendiri jadinya bila mengingat dulu aku berputar bak angin puyuh mengurus bayi-bayi itu kesana-kemari.”
Aku menengadah tak percaya. Anak yatim? Ia pun menunduk dan memandangku.
“Yatim piatu, ya. Aku bisa besar begini karena bantuan para wanita di panti itu.” Mom seolah telah membaca pikiranku. “Mungkin cerita ini sudah cukup memenuhi rasa ingin tahumu. Kurasa kau tak perlu tahu banyak.”
Mom berdiri kokoh dengan rambut melambai bak pohon nyiur. Cahaya mentari merayap menyinari wajahnya. Mom, aku makin mengagumimu. Kau terlalu baik untuk seorang manusia. Tiap ujarmu bak sabda berseling canda. Aku berandai jika seorang lelaki tersedot ke dalam anginmu.
“Zephyrus.” ujarnya tiba-tiba. Aku mendelik bingung. “Bram, dia masuk ke dalam pusaranku. Lalu kuterbangkan ia bersama Zephyrus.”
“Maksudnya?”
“Ayahnya masuk penjara setahun lalu. Ibunya lari sama brondong. Aku menaruhnya ke panti rehabilitasi. Kuupayakan ia tak berlama-lama di panti itu, jadi kuadon betul dia dalam panti, seperti mengadon dodol yang berat dan lengket.”
“Jadi?”
“Dia sudah pulih seratus persen. Aku membantunya bangkit. Sekarang ia ada di Jepang menunaikan kuliahnya. Aku juga membantunya mendapat pacar.”
“Siapa?”
“Mina.”
Aku terbelahak liurku sendiri. Mom, Mina? Rasa terkejut, senang, aneh, teraduk satu. Mom, pintar sekali dirimu membuatku terkesima.
*