Rabu, 21 Juli 2010

The Rope chapter 1 (continue)


Setelah percakapan yang memakan waktu selama lima belas menit itu, Miss Kingley dan Richard kembali menuju ruang rawat Regina. Di dalam ruangan itu Regina dan Kakek Ian tengah berbincang tentang proses kelahiran yang memakan hampir seluruh tenaga Regina. Kakek Ian menggendong bayi yang dibungkus kain berwarna biru, Gabriela. Sedangkan bayi yang tertidur pulas di samping Regina terbungkus kain berwarna putih vanila, Gabriel. Miss Kingley masuk lebih dulu, disusul Richard. Ia tidak langsung masuk, malah berdiri di ambang pintu. Richard mengatur nafas dan emosinya. Ia tidak mau terlihat sedang sedih atau apapun yang akan membuat Regina bertanya mengapa air mukanya kusam.

“Lihatlah, dokter, mereka tertidur. Menggemaskan!” Kakek Ian masih menggendongi Gabriela.

“Tentunya.” sahut Miss Kingley. “Regina? Bagaimana? Sudah merasa cukup bertenaga?” Miss Kingley melemparkan senyum kepada Regina yang saat itu terlihat kelelahan. Muka dan bibirnya bertambah pucat saja. Mata birunya sendu dan meredup. Proses persalinan Jumat sore itu terasa seperti pencabutan nyawa yang keji.

“Oh, dokter. Aku baik-baik saja namun tak cukup bertenaga. Mungkin dengan kepulanganku ke rumah, aku bisa meningkatkan tenagaku lagi. Aku rindu rumah.” Jawabnya lemah.

“Maaf, Regina. Untuk tiga hari ke depan kau belum bisa pulang. Kami harus melihat dan mengamati perkembanganmu selepas persalinan dengan intensif. Selama persalinan kau mengeluarkan banyak sekali darah, belum lagi catatan medismu menunjukkan bahwa kau mengidap hemofilia.”

“Jadi, hari Minggu ia sudah bisa pulang?” Tanya Richard yang dari tadi diam tak bersuara, mematung di dekat pintu.

“Tentu, jika keadaannya mulai membaik. Aku harus memastikan bahwa Regina pulang dengan keadaan sehat. Ia harus menyusui kedua bayinya, bukan?”

“Uh, iya.” Richard hanya tersenyum kecil.

“Is everything okay, hon?” Regina mulai menangkap sinyal aneh dari wajah suaminya yang agak temaram. Baik Regina maupun Richard memiliki perasaan sensitif satu sama lain. Perubahan sedikit saja langsung terbaca, entah itu perubahan dalam sikap, tingkah laku, apapun itu.

Richard mendekati istrinya dan mengusap dahinya yang sedikit basah karena keringat. “I’m alright. Tidak apa-apa kok. Aku hanya cemas melihatmu yang terbaring begini. Lebih lagi aku tidak menemanimu selama proses kelahiran, jadi aku sedikit tahu tentang keadaanmu.” Lalu ia menggendong Gabriel yang masih tertidur. Tangan-tangannya yang mungil mengepal dan menempel di pipinya.

“Ease your worriness, Sir. Kami pastinya akan memulihkan kesehatan istrimu. Um, sebaiknya bayi-bayi ini kubawa ke ruang inkubator. Mereka masih rentan akan udara luar. Besok pagi kukembalikan mereka kepadamu. Mari, Richard.” Miss Kingley menjulurkan tangannya untuk menggendong Gabriel. Kakek Ian yang dari tadi menggendong Gabriela merasa tidak rela untuk melepasnya ke ruang inkubator. Dahinya yang keriput bertambah keriput lagi dengan alisnya yang berkerut.

“Benar, ya. Kau akan mengembalikan mereka kepada kami.” Lirih Richard dengan singkat. Matanya sayu menatap Gabriel dan Gabriela. Miss Kingley memperhatikan tingkah Richard. Pikirannya jadi ikut gundah, namun ia tetap menyunggingkan senyum untuk Richard dan Regina. Pintu membuka dan menutup, hanya Regina, Richard, dan Kakek Ian yang berada di ruangan itu.

“Aku mau bermain lagi dengan mereka. Sayang mereka sedang tidur. Besok pagi aku akan bermain dengan mereka seharian, pastinya mereka pun sudah kenyang tidur.” desah Regina diselingi tawa ringan. Senyumnya hanya segaris lemah, mungkin akan bertahan selama beberapa hari ini. Siapa yang tahu bahwa senyumnya terus tak lekang mengiringi bayi-bayinya hingga dewasa, bahkan ia sendiri tak tahu.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar