Senin, 26 Juli 2010

The Rope chapter 2


Satu Sayapnya Patah, Maka Burung Itu Pun Murung

Cahaya hangat matahari pagi menerobos pepohonan yang tumbuh merindang, menaungi hamparan batu-batu berukir nama. Nama-nama yang berdiam tenang, istirahat tak terusik oleh kidung ratapan yang terdengar semayup di ujung hamparan batu-batu itu. Sepetak hamparan kecil dengan lubang yang menganga, menelan perlahan-lahan pembaringan kayu bersahaja milik seorang wanita berambut pirang panjang berombak, wanita yang memiliki senyum terhangat dan terindah yang pernah dilihat oleh seorang Richard dalam hidupnya. Senyum yang kekal, tak dinyana adalah senyum seorang wanita fana.

Richard memandangi peti yang masuk perlahan ke dalam liang. Suara pendeta yang dengan khidmatnya melantunkan pujian kepada Tritunggal kudus serta doa untuk Regina yang tertidur amat pulas, menggema dan mengharu birukan para saksi-saksi pemakaman. Sesengguk tangis terdengar di kanan dan di kiri Richard. Namun ia tetap berdiri tenang dan berupaya untuk tabah. Kemudian dipandanginya Gabriel yang sedang tertidur di dalam gendongannya. Segaris senyum tersungging di wajahnya.

“Hei, Gabrielku. Jangan kau tertidur seperti mamamu itu. Pemalas sekali ia. Tak mau satu orang pun mengganggu tidurnya, ia putuskan untuk mengubur dirinya jauh di dalam sana supaya ia dapat tidur dengan tenang. Dan kau tak akan mengikuti yang demikian, benar kan?” Lirih Richard diselingi dengusan tawa. Richard mengelus alis Gabriel dengan telunjuknya, Gabriel pun menggeliatkan kepalanya sedikit. Seorang wanita yang menangis di belakang Richard tertawa kecil mendengar ucapan Richard kepada Gabriel.

Di sisi kiri Richard, Kakek Ian asyik sendiri bermain dengan Gabriela. Diciuminya Gabriela berkali-kali, pipinya yang gembil pun dicubitnya dengan pelan. Ia tak menghiraukan duka-duka yang dilayangkan untuk puteri satu-satunya itu. Apalah yang harus ia tangisi, karena ia percaya bahwa Regina tidak akan pernah mati. Hidupnya berlanjut dengan jalannya sendiri disana. Bahwa manusia tidak akan pernah lenyap, hanya tubuhnya saja yang terbaring kaku dan jiwanya tengah melalang menuju tuhannya.

“Deuce, my lad.” Kakek Ian menelengkan badannya dan berbisik kepada Richard, lalu kembali menimang-nimang Gabriela.

“Apanya yang deuce?” Richard mencondongkan badannya ke arah Kakek Ian. “Jangan bilang kau tidak tidur semalam dan memaksakan diri untuk menonton Liga Wimbledon kemarin malam.” Tanya Richard pelan.

“Bukan itu maksudku. Kita seri. Tak menyangka nasibmu sama naasnya denganku. Padahal aku bukan ayahmu, cuma mertua yang selalu menggerutu. Aku jadi ingat tigapuluh tiga tahun yang lalu. Tidak lebih dari seminggu semenjak melahirkan Regina, Irma langsung pergi tidur begitu saja. Pagi itu aku mengunjunginya di rumah sakit. Cahaya mataharinya terasa hangat dan menyinari wajah Irmaku yang tertidur damai. Kubangunkan, dia diam saja. Aku membawa Regina kecil dalam timanganku untuknya. Dia lebih memilih tidur untuk selama-lamanya. Pemalas, menyebalkan! Padahal aku sedang senang tak terkira.”

Kakek Ian menceritakan kisah masa lalunya kepada Richard. Aneh sekali ucapannya, tertidur pulas untuk selamanya, pemalas, menyebalkan! Tambah lagi, tawa-tawa ringan yang selalu ditunjukkan Kakek Ian saat ia bercerita. Seriang itukah Kakek Ian, meskipun ia hidup sendiri sepanjang usianya, hanya ditemani oleh anak semata wayangnya, Regina.

“Namun, kunilai nasibmu lebih tragis sebagai ayah baru. Tiga hari kau diam di rumah menanti istrimu, lalu ia pulang tak bernyawa, meninggalkanmu dan bayi-bayi ini. Mengganti baju dan popok-popok mereka. Uh, bisa kubayangkan betapa repotnya mengganti popok bayi, terlebih lagi jika mereka buang air besar.”

Setidaknya Kakek Ian dapat meringankan beban psikis Richard dengan candanya yang tidak tahu tempat itu. Suasana hatinya kontras dengan keadaan di pemakaman puterinya itu, namun tak bisa dipungkiri olehnya sendiri bahwa ia pun juga merasa teriris. Kehilangan hari ini membuatnya memanggil ingatan di suatu pagi yang cerah, dimana dengan wajah sumringahnya Kakek Ian berjalan menuju rumah sakit untuk mengunjungi Irma, istrinya yang sedang dirawat pasca persalinan. Sebelum menjenguknya di ruang rawat, Kakek Ian menyempatkan diri untuk mengambil Regina yang saat itu berusia lima hari dari ruangan bayi dan membawanya untuk Irma. Kakek Ian menyusuri selasar menuju ruang rawat Irma. Dibukanya pintu, Irma sedang tertidur, pikirnya saja. Kakek Ian mengelus pipinya dan membangunkan Irma, tak ada jawaban, hanya angin yang menghembuskan tirai-tirai tua kamar rawat itu. Kakek Ian tidak berujar apa-apa, meskipun selanjutnya Kakek Ian mengetahui bahwa Irma sudah “tertidur lelap”. Ia ingin berteriak, mengapa di saat seperti ini Irma meninggalkannya dan Regina. Dari mana lagi Regina akan menerima sesosok ibu pengharapannya untuk tumbuh. Semua itu terputar di dalam memori Kakek Ian layaknya film sepia tua yang enggan untuk dimainkan. “It seems like twilight in my life, Richard. My old memory is recalled. I decided not to remember that bittersweet memory, but it is recalled, Richard.” gumam Kakek Ian lemah.

Haru biru prosesi pemakaman berakhir dengan tangisan-tangisan dan langkah-langkah yang berlalu, meninggalkan Richard dan Kakek Ian, juga Gabriel dan Gabriela dekat pusara Regina yang sepi. Masih menggendong Gabriel, Richard berlutut memberi penghormatan terakhir untuk istrinya. Dikecupnya dalam-dalam batu pusaranya. Sebutir air mata menggelayut di ujung mata, menganak sungai jadi aliran air mata dengan sengguk pedih duka, Richard akhirnya menangis juga. Gabriel yang terdiam dalam timangan memandangi ayahnya. Tangannya yang bebas menggapai-gapai, seolah hendak menghapus sedih ayahnya itu.

“Ayo, Richard. Mari kita pulang. Jangan terlalu lama menangis, kau bisa kelelahan nanti. Lihat ini, setibanya di rumah kau bisa bermain dengan boneka-boneka kecil ini.” Kakek Ian menimang-nimang Gabriela. Dengan berat hati Richard beranjak dari pusara Regina.

“Maaf, Regina.” desahnya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar