Senin, 02 Agustus 2010

The Rope chapter 2 (continue)


Kamar baru itu sepi sunyi, hanya ditiduri oleh dua sosok mungil yang berbaring berdempetan dalam satu boks bayi. Gabriel sudah menutup matanya, namun Gabriela masih terbangun. Ia menggeliatkan kepalanya ke arah Gabriel. Gabriela menggerak-gerakkan bibirnya, membuka dan menutup, seperti ada percakapan batin antar bayi. Siapalah yang mengerti bahasa itu, bahasa tanpa suara, kecuali Gabriel dan Gabriela.

“Gabriel? Ada apa ini? Mengapa kita hanya berdua saja? Mana ibu?”

“Tidakkah kau tahu, Adik? Ibu sedang tidur di bawah sana. Ayahlah yang akan menemani kita sepanjang tidurnya Ibu.”

“Tapi aku sangat lapar! Teganya Ibu tertidur dan melupakan kita.” Gabriela mulai menangis. Tangisannya nyaring hingga terdengar ke dapur. Richard mendengar tangisan itu dan langsung bergegas menuju kamar Gabriel dan Gabriela.

“Sshh…jangan nangis. Kasihan Ayah. Karena Ibu akan tidur dalam waktu lama, Ayah jadi bersedih. Ayah jadi tak berteman.”

Gabriela tak peduli, ia terus meraung layaknya siren polisi yang kehabisan baterai, suaranya kecil dan memencit tak karuan. Richard langsung menggendong Gabriela sesampainya ia di kamar. “Sshh…what’s up, little girl? Are you hungry, huh? What do you want, milk, banana smoothie, or smoked beef sandwich? Grandpa is making some sandwich at the kitchen, wanna some? Come on, milk is better for you, since your mouth is too little to cram a sandwich.” Richard membawa Gabriela ke dapur, Gabriel pun yang terpejam ditinggal sendiri.

“Oh, sudah kukira kau yang menangis, Gabriela. Kenapa kau?”

“Si kecil ini lapar. Adakah sesuatu yang bisa ia minum? Susu, mungkin?”

“Aku tak akan memberikan susu insulinku kepadanya, Richard. Kita tak punya susu bayi di rumah ini. Oh, tunggu, aku akan pergi ke mini market di blok depan.”

Belum lagi Kakek Ian hendak mengambil mantelnya, suara bel pintu terdengar dari luar.

“Biar aku saja,” sahut Kakek Ian. “Uh, Richard, bisakah kau diamkan Gabriela sejenak? Atau bawalah ia ke kamar dulu. Ada tamu, tak enak bila rumah ini terdengar riuh.” Richard pun berlalu ke kamar bayi. Kakek Ian membukakan pintu dan ia sedikit terkejut begitu melihat tamu yang menekan bel pintu tadi.

“Hallo. Uh, Sir Ian? Maaf bila aku datang di saat yang tidak tepat. Aku yakin kau tengah beristirahat setelah hari yang melelahkan ini.” Rupanya Miss Kingley yang menjadi tamu pertama di hari berduka itu. Di tangannya terdapat satu kantong plastik putih berisi, entah apa isinya karena kantong itu masih terikat.

“Miss Kingley,” Kakek Ian tersenyum sumringah. “It’s good to see you! Masuklah, kau sama sekali tak mengganggu. Ayo, ayo, jangan sungkan. Mari kugantungkan jas Anda.” Miss Kingley menerawangkan pandangannya ke sudut-sudut rumah itu. Baru kali ini ia mengunjungi rumah Richard dan Regina, yang berada di komplek perumahan di tengah kota Wellington. Ia dapat mengendus bau daging asap yang terlalu lama digoreng. “Oh sial! Dagingku! Maaf, Miss Kingley, aku harus mematikan komporku dulu. Aku akan kembali setengah menit lagi. Duduklah dulu.” Kakek Ian langsung memacu menuju dapur.

Setelah ucapan terima kasih yang singkat, Miss Kingley merebahkan dirinya di sofa panjang kulit di ruang keluarga. Sayup terdengar olehnya suara tangisan bayi dari kamar yang terletak di ujung ruangan. Tak lama, Kakek Ian kembali dari dapur.

“Maaf, Miss. Aku tengah membuat sandwich. Apakah kau mau satu?”

“Oh, no thanks. Ini, aku tahu kalian pasti akan membutuhkannya.” Miss Kingley menyodorkan plastik putih yang masih terikat. “Apa ini?” Tanya Kakek Ian. “Bukalah, itu semua untuk bayi Gabriel dan Gabriela.” Dibukanya plastik putih itu, dan di dalamnya terdapat tiga kotak susu khusus untuk bayi berusia kurang dari sebulan. Lalu terdapat beberapa penganan ringan dan macam-macam sayuran dan buah. “Masih ada lagi di mobilku, tunggu sebentar.” Miss Kingley bergegas menuju mobilnya yang diparkir di pinggir jalan komplek perumahan. Kakek Ian terheran-heran, untuk apa Miss Kingley memberikan semua ini? Memang sekarang yang amat dibutuhkannya adalah susu bayi, dan ia tak perlu berletih ria berjalan dua blok menuju mini market.

“Ini, ada lagi. Bisakah kau menolongku?” Miss Kingley membawa beberapa kantong plastik putih lagi dari mobilnya. Ia terlihat kepayahan berusaha agar barang-barang yang dibawanya tak bercecer. Kakek Ian tak berkata apa-apa, hanya memandangi plastik-plastik itu satu per satu. Semua plastik itu berisi kebutuhan sehari-hari, kebanyakan berisi makanan biasa dan makanan bayi.

“What do you mean, putting all these stuffs here?” Kakek Ian bertanya dengan suara pelan. Ia masih ragu untuk mengucapkan terima kasih, takut-takut barang ini salah peruntukan.

“Jelas, ini semua untukmu, Grandpa. Dan Richard, dan juga bayi-bayi itu. Ini juga sebagai permintaan maafku karena tidak datang ke pemakaman. Aku harus membantu dua persalinan pagi ini. Mana bayi-bayi itu, Sir?”

“Mereka sedang di kamar bayi bersama Richard. Lihatlah mereka jika kau mau, kamarnya ada di ujung sana. Ngomong-ngomong, terimakasih ya. Kami memang sangat membutuhkannya.” Kakek Ian membawa seluruh kantong-kantong itu ke dapur, sementara Miss Kingley pergi menuju kamar bayi yang terletak di ujung.

Krieeett, pintu berdecit pelan saat Miss Kingley membukanya. Suara itu tak terdengar oleh Richard yang sedang bersenandung sendu di kursi goyang. Di pangkuannya Gabriel dan Gabriela sedang mendengarkan senduan ayahnya dengan tenang. Keduanya tak tertidur, mata mereka terbuka.

Sun, Moon, the nature is in the joy

Welcome ye two little angels, congrats to the newly father!

Fair twin, it is girl and boy

Lay so sweetly in my arms, none can bother their slumber.

Hark to me, the sleepless babies

Here thou pay no heed on the surrounding

Just sit, lay, and sleep my little kins

Let you be mesmerized by tale of Twilight Days

There was a twin, once upon a time

Their life was a sad story, so few may knew

When excellence flamed a fire of spite

The Rope, which humble folks named the story

For they have heard, a twin was born in the depth of wood

From the lip of their fading mother, their name was unsaid

So the Mother Nature named them, Soleil and Lune

Beheld their so fair beautiness, even stars were in envy

Soleil grew as a handsome man, Lune was strikingly beautiful

Flawless, faultless, Children of the Nature

No, no, they were just too amazing

So mighty Deities desired and claimed for their beauty, along with the soul

Alas! Poor was the winter in the Yule Morning

For what a lumberjack has seen

Tracks of blood blotted snowy forest floor

Kept tracking, oh he was taken aback

Two bodies dangled in silence over a tree

Tied in silver rope their limbs, mortally agonized

No more Soleil and Lune, the fairest being

Fashioned to be finished

“The Rope? Yang benar saja, Richard. Itu bukan cerita untuk bayi.” Miss Kingley memasuki kamar bayi.

“Mereka tak mengerti apa yang kuceritakan. Lagipula, hanya itu dongeng yang aku tahu. Lama ayahku menceritakan dongeng ini. Aku selalu menolak ketika ia mulai cerita, indah namun berakhir menyedihkan.”

“Namun bayi dapat melihat gerak bibir. Oh ya, aku bawa keperluan untuk Gabriel dan Gabriela. Ada susu bayi, makanan, dan…”

“Terima kasih,” Richard menyunggingkan senyum kepada Miss Kingley. “Entahlah, tapi kau benar-benar mengerti kami.”

“Ya, dan aku janji akan tetap mengurus bayi-bayi itu, terutama Gabriel. Tolonglah ia.” Richard memelas. Miss Kingley tak kuasa berkata apa-apa. Ia hanya seorang dokter yang bertugas untuk membantu persalinan, lebih dari itu ia tak mampu.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar